Tuesday, December 26, 2017


    Pengertian Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat
   
Sebelum kami jelaskan tentang pengertian Syariat, Tarekat, Hakekat dan Makrifat, marilah  kita jelaskan kapan datangnya istilah-istilah tersebut. Istilah tersebut sebenarnya jaman Rasulullah tidak ada istilah tsb muncul ke generasi yang ke tiga dari Rasulullah saw, yaitu setelah Rasulullah saw, Shahabat Nabi, Tabi'in, Itabi'in, setelah kegenerasi ketiga itulah munculnya para Tasawuf pada Abad ke 11 (5 H) Tasawuf dipakai setiap calon

Sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah atau berada dalam kehadiratnya
tanpa dibatasi hijab.Bagaimana menurut syareat Islam? Ahlus sunah
Waljama'ah? Suatu cara mendekat diri kepada Allah dengan istilah diatas
dipersilahkan yang terpenting sesuai dengan sumber hukum dalam Islam
(Al-Qur'an, Hadist) dan Syariat yang sudah ditetapkan oleh Allah.

Jadi para tasawuf, itu menyatukan lahir dan batin  dalam mengamalkan
syariat itu bersungguh secara istiqomah dalam mendekatkan diri kepada
kepada Allah swt.

_Pengertian Syariat_
Syariat (Islam) adalah hukum dan aturan (Islam) yang mengatur seluruh
sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat
(Islam) juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka
oleh sebagian penganut Islam, syariat (Islam) merupakan panduan
menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan
dunia ini.
Syariat yaitu segala aturan yang sudah ditentukan oleh Allah swt, atau
aturan yang sudah dilegalisasi oleh Rasulullah saw yang berkenaan dalam
soal Aqidah, masalah hukum baik haram halal, syarat atau rukun dsb yang
mengatur hubungan manusia dengan penciptaNya atau Sesama Manusia.

Dalam Syariat aturan udah baku tidak dapat dirubah, tidak seperti ilmu
fikih dapat dirubah. Dalam ilmu Tasawuf syariat adalah yang mengatur
amal ibadat dan muamalat secara lahir.

Dalam tingakat ini, membahas soal amalan hati atau batiniah atau rohani
yah disebut Tasawuf  dan ilmu bagi amalan lahir, dalam tingkat ini
Syariat itu di ibaratkan suatu benih biji yang akan kita tanam.

_Pengertian Tarekat_
Tarekat berasal dari kata ‘thariqah’ yang artinya ‘jalan’. Jalan yang
dimaksud di sini adalah jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi
orang yang diredhoi Allah s.w.t. Secara praktisnya tarekat adalah
kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk membawa
seseorang untuk menjadi orang bertaqwa.

Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.
~ _Tarekat wajib_, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu
kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang
utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya
Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara
oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t
melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah
shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup
aurat, makan makanan halal dan lain sebagainya.

~ _Tarekat sunat_, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang
diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya
menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat
sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah
ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat
sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh
murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak
tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang
murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada
ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat,
wirid, zikir dan lain sebagainya.

Secara harfiah berarti jalan, metoda, cara, dalam lapangan tasawuf
istilah ini dipakai calon sufi adalah jalan yang ditempuh untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang sedekat-dekatnya atau mendapat maqam
yang mahmudah, jadi dalam tingkatan ini ada maqam yang harus dikerjakan
secara istiqamah yaitu maqam taubat, zuhud, sabar, ridlo dsb.

Dalam tingkat ini adalah menghidupkan Syareat sebagai amalan lahir atau
amalan batin secara sungguh-sungguh dan istiqamah dalam rangka
mengnguatkan keimanan dalam hati. Pada tingkat tarekat ini di ibaratkan
menanam benih biji (Syariat) tumbuh menjadi kecambah atau sebatang pokok
yang bercabang dan berdaun.

_Pengertian Hakikat_
Hakikat artinya i`tikad atau kepercayaan sejati (mengenai Tuhan), maka
hakikat ini pekerjaan hati. Sehingga tidak ada yang dilihat didengar
selain Allah, atau gerak dan diam itu diyakini dalam hati pada
hakikatnya adalah kekuasaan Allah. (Abdurrahman Siddik Al Banjari ,1857
kitab Amal Ma`rifat).

 Hakikat
 adalah kebenaran, kenyataan (Poerwadarminta,1984) hakekat
menyaring dan memusatkan aspek-aspek yang lebih rumit menjadi keterangan
yang gamblang dan ringkas, hakikat mengandung pengertian-pengertian
kedalam aspek yang penting dan instrinsik dari benda yang dianalisa
(Konsep Dasain Interior II, Olih Solihat Karso).
~ Hakikat berasal dari kata arab haqqo, yahiqqu, haqiqotan yang berarti
kebenaran sedangkan dalam kamus ilmiah disebutkan bahwa hakikat adalah:
Yang sebenarnya; sesungguhnya; keadaan yang sebenarnya (Partanto, pius
A, M. Dahlan al barry, Kamus Ilmiah Populer, 1994, Arkola, Surabaya).
~ Istilah bahasa hakikat berasal dari kata “Al-Haqq”, yang berarti
kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan
untuk mencari suatu kebenaran.
Hakikat yang berarti kebenaran atau benar-benar ada, orang-orang sufi
menjadikan Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya,
tiada yang lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya.
Hakekat ini akan di akan dicapai seseorang setelah mencapai makrifat
yang sebenar-benarnya dalam tingatan ini benar-benar tiada tabir atau
hijab dengan Allah artinya sinyal kita benar nyambung kepada Allah,
sehingga ada diantara kita yang memiliki indra ke 6.

Dapat di ibaratkan buah , jadi yaitu biji benih (syariat)  pada
tingkatan tharikat  menjadi batang yang becabang, berdaun jika pada
tingkatan ini kita amalkan buah dari tharekat, akhlak, bisa menahan
nafsu, sabar, tawaduk kita akan memperoleh buah (maqam mahmudah) jadi
dengan Allah tiada hijab atau tabir atau penghalang lagi.


 Makrifat

Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui
atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan
Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika
Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf;
antara lain :
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan : "Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya)
wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan: "Ma'rifat adalah hadirnya
kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan
dengan Nur Ilahi..."

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan: "Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati,
sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran).
Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan
(hatinya)." marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim
yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.

Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu. setiap ilmu itu ma’rifat,
ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat
dan AsmaNYA.

Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT. Marifat menurut
istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa
segala menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan, berfikir dan
sebagainya semua adalah Alloh SWT, yang menciptakan dan yang mengerakan.
Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah. Makrifat, sebagai
pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat
lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional,
tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan n­ur dari
Tuhan sebagai pengalaman sufistik.

Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh
indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio). Teori pengetahuan kasyfiy
atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang
telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke
dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih
mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan
keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap
hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti
ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang
sebenarnya menjadi tugas manusia.

Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang
hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq
al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat
penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat
ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy.

Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat
seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara
tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا
يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak
tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang
telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang
diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:

ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه
ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi
obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit
pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru,
serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.


Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah :

الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل
الموجودات.
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum
Tuhan yang meliputi segala yang ada”.

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran
tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan,
tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang
terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa
orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal
hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang
tertentu - para ’arifin. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar
biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh
orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam
arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat
dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat
dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup
pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun
demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau
mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan,
yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian,
al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى)
(memandang kepada wajah Allah ta’ala).

Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang
terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan
sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah
bersifat tak terbatas (infinite).  Makrifat dalam arti yang
sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau
akal, melainkan lewat n­ur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui
pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf.

Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat
membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan
Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.

Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa
dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum
mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik
semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan
Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan
salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi.
Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara
simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan
secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.

Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli
terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat
tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari
sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya
tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy.

Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahm­d, adalah tindakan bid’ah
yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali
tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada
orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima
pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul,
maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab­ al-A’la al-Maud­diy, antara
syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika
syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan
aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT. Salah satu
perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara
memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras;
belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat
tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia.

Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia
hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri
dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.
Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta
Allah Ta'ala.

Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah
dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu
apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh
Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan)
kepadaku.

Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr
al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui.
Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah,
ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya
untuk mengenali-Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar
yang melihat-Nya tidak terbakar. Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri
seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain
selain Allah.

Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang
hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat)
al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada
kesamaran. Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini,
sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib,
Ja'far Shadiq. Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir
al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau
sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku
menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan
mata hatiku".

Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau
melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak
bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat
melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh
peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan
dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman.
Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan
dengan manusia.

Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam
ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat,
iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.

Adapun sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga
sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber,
akan tetapi tidak dalam yang lain.

b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu
sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan
bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang
luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean
terhadap al-Qur'an sebagaiutama.

c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi
Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya
sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.

d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang
dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan
merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi
ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.

Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan
tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi
tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini
adalah iman taqlid yang murni.

b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang
yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh
penelitian dan istidlal.

c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang
menyaksikan dengan 'ainul yaqin.

Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah
As-Sakandari dalam al-Hikam menulis: “Apabila Tuhan membukakan jalan
bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit
itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang)
berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui
bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan
amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah,
dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan
pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”

Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia Ruhani
bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang
datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah.
Ruhani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa
melihat kepada amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai
kurnia Allah yang wajib disyukuri.

Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah
tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari
Allah. Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan
mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang
Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan
dikenali kecuali jika Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.

Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah.
Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali
apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’. Penemuan kepada hakikat (bahwa
tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat) merupakan puncak
yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu berjalan lebih jauhdari
itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan
atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi
bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain.

Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah SWT. Ada orang yang mengetuk pintu gerbang
ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya
akan menurun hingga membuatnya putus asa. Ada pula orang yang berpegang
dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya
yang berjuang pada jalan-Nya. Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya
layak untuk menerima kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan
kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat.

Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu. Dalam
perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan
ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada
sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidakada pilihan lain kecuali
berserah kepada Allah Swt. Ma’rifat menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah
pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang
diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah
mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat
Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat &
Mistisisme dalam Islam.

Lewat hati sanubariseorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti
itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang
terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan
tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.

Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa
Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka
yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artiny bahwa yang dilihat orang
Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini
terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya,
dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah
dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung
dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk
menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam
hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang
menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang
yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya
keindahannya yang gilang gemilang.

Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah
ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut
“Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari
dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang
sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah
permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia
kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata
yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan
kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha
Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun
besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut
masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada
saudagar tersebut.

Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku
yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia
pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad
untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah,
memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama
40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari
mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih
didapati 40 potong roti yang masih utuh.

Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3
macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan
tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan
ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang
bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum
tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal
itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar
dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh
Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi,
cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu
bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat
ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat,
bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia
melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam
cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain
yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul)
dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu
dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan
tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah
terputusmeskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah
keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi
bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada
kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran
Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat,
Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan
tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf
yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan
tidak pula mengalami kesesatan.

Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li
Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli
Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam
tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuhj alan panjang melewati
maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau
Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari,
maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana
Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la
rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan
sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui
Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.

Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil
usahanya sebagai sufi, melaikan lebih merupakan anugerah yang
dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui
pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat
Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.

Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam
menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan
Syahadat. Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan
mengetahui Tuhanberdasarkan logika dan penalaran akal.

Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari. Ma’rifat
yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan
Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu.
Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.

Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat
adalah Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam
dirinya. Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan
atau membatalkan Zahirnya. Banyaknya nikmat  yang dianugerahkan Tuhan
kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan. Dijelaskan
bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah
lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya
mencerminkan sifat-sifat Tuhan.

Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun
selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah
dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT
berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang
dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan
keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah.
Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu
seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang
panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di
satu maqam.

Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang
terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin
banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian
tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh
amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid
al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan
manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua
air laut”. Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga
paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai
figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat
menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at.

Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan
al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M)
khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam
pemahaman “Kejawen” dikenal
dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”

Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri
yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada
kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih).
`Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh,
sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan diri dengan api”.

Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan
di dalamnya. Adapun  menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan
ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi,
ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang
berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat Allah swt. dan
Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa
pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan
“sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun
yang menyerupai-Nya. Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui
sesungguhnya Allah swt. Maha Hidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha
Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.

Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah
tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm
(Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala
keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu
pun yang menyamai-Nya]. Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya
adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada
Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud
menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah
kepada-Ku. “ Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat
disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap
musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba
melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam
dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian
tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan
Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat
kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang
melihat-Nya tidak  terbakar.

Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual
tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab, Pastilah seluruh makhluk sempurna,
Namun hijab itu amat halus, Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang
`asyiq.

Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut
(khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan
(al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara
manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat
meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).

Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang
mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan
dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai
kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan
kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila
awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika
kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.” Ada
pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan
didalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali
ma’rifat.”

Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan
bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada
siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari
kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang
tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.”
Mereka mendendangkan syair: Matahari siang tenggelam di waktu senja,
matahari kalbu tiada pernah tenggelam. Siapa yang mencintai Sang
Kekasih, Kan terbang sayap rindunya menemui Kekasihnya.

Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas
rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah)
Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya: Bagi orang `arifin,
terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan Cahaya I1ahi dengan rahasia di
atas rahasia Yang terdapat dalam berbagai hijab Tu1i dari makhluk, buta
dari pandangan mereka Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.
Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui
bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia
mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi
selain Tuhannya.”

Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah
kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada
keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib
r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang
dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku
menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi
penglihatan kalbu,” jawab Ali.
Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi,
“Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”
Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi
mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak
diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”

Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata,
“Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan
kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada
ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan
menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya
dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui
Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada
Diri-Nya saja.”

Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah Bashirah, Mukasyafah,
Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya
pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna
asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan
cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat
pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar pada
cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang
tidak tampak dapat dikenali. Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri,
Tauhid dapat diketahui.Allah swt. berfirman: “Bukankah orang yang sudah
mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).

Sedangkan al-yaqin - ketahuilah-keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila
telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang
(ma’aridh) bagi masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan
ma’rifat tersebut dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah
kejernihan ilmu yang didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia
(muktasab), sehingga menjadi seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu
menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik
dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan, Air menjadi jelas
ketika bersih dari kekeruhannya.”

Ilham adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab
dan upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu
menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad –
jagad dunia maupun akhirat. Sementara firasat adalah pengetahuan akan
perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi
petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat
tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di
bawah ilham. Karena ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat
membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus.

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu
ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah
Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segalakemampuan
atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”

Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi  rahimahullah  ditanya tentang
sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang
tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi
jernih karenanya.”
Ahmad bin ‘Atha’ rahimahullah berkata, “Ma’rifat itu ada dua : Ma’rifat
al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat
(mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang
ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan
untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah
(Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan
mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah
berfirman: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara
detail) Ilmu-Nya”.(Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj  rahimahullah  menjelaskan: Makna ucapan Ahmad
bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui)
secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar
kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan
mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari
ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan
apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal
apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup
ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya
sebagaimana itu? Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia
yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya
selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah)
tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman: “Dan
mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).

Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk
ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup
mengetahui-Nya.”

Asy-Syibli rahimahullah  pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada
dalam tempat al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti
fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan
pun menjadi hilang.” “Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah
mentauhidkan-Nya.” Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat
adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan
segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri
lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang
ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”

Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami  rahimahullah  pernah ditanya
tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat
dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu
anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan
menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang
berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian
pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah,
ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang
mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan
menguasainya.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj  rahimahullah  menjelaskannya: Artinya, :
hanya Allah Yang Mahatahu, bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat
bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan
tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah
kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin
mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada
di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya.
Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza
wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual,
maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.

Al-junaid  rahimahullah  pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang
arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan
sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”

Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia
menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat
kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah
menauhidkan-Nya.”

Al-Junaid  rahimahullah  ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari
panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada
Allah?” Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan
dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi  rahimahullah  berkata, “Akan
tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun.
Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang
semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang
arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga
berkat Dzat Yang mewujudkannya.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan
orang-orang arif?” Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak)
yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut
hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu
adalah istiqamah.”

Yahya bin Mu’adz  rahimahullah  ditanya tentang sifat orang arif, maka
ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah
dengan mereka.” Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang
arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah
orang banyak) lalu ia terpisah dengan
mereka.”

Abu al-Husain an-Nuri  rahimahullah  ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa
dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan
akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat
yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa
memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau
bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat,
Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa
menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat yang menentukan ruang dan tempat itu
sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang
terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia
tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak
bisa diketahuimmana yang pertama dan mana yang terakhir.”

Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah
al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa
pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan
akhir adalah juga awal.

Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan
Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui
kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang
mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan
mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada
dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara
langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada
kerendahan.”

Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri,
“mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan
kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang
gaib.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya:
Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu –
bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah
swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang
bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa
yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti
yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat.
Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut
penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang
(ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari
Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.

Ahmad bin Atha’  rahimahullah  pernah mengemukakan sebuah ungkapan
tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar
al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’,
“Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena
tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala
Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap
(Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan).

Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa,
sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri
yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka
yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka
dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup
hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah
itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek,
pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya
merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya
mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin
Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah
perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang
(ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum,
kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan
(amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci
pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang
berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap
jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.”
Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara
ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu
menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah
karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana
yang diterangkan dalam sebuah Hadits:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua
buah Kitab : Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang
lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab
catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama
bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para
penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak
mereka.”(H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan
Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).

Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada
kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah
sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan
fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun
yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini.
Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang
menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa
yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan
dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam),
dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”


Wednesday, October 25, 2017

Psikologi Belajar

Ketika lahir, manusia adalah makhluk yang paling tidak berdaya. Jangankan berjalan, menyusu pada ibu yang sedemikian sederhana, bayi manusia harus belajar. Namun, bersama dengan perkembangan usia, bayi manusia tumbuh menjadi besar dan menguasai berbagai ketrampilan yang tidak dapat disamai oleh makhluk hidup yang lainnya. Belajar merupakan kata kunci untuk semua keunggulan manusia sebagai makhluk yang mendapat amanah sebagai khalifah di bumi.

Design Pengajaran oleh Gagné

Gagné's ID (Instructional Design) didasarkan pada jenis keluaran belajar yang berbeda membutuhkan aktivitas belajar yang berbeda dan karenanya kondisi-kondisi intruksional yang berbeda.

Sembilan kejadian instruksional dasar mempunyai variasi untuk jenis keluaran belajar. Mengembangkan instruksi meliputi analisis prasyarat, pemilihan media dan merancang kejadian-kejadian instruksional.

Menganalisis persyaratan-persyaratan dengan bekerja secara ke belakang dari tujuan belajar yang diinginkan.
1.    mengidentifikasi jenis keluaran belajar yang ingin dicapai.
2.    keluaran belajar adalah tidak sederhana, setiap keluaran harus dirinci ke dalam hirarkhi keluaran belajar yang tergantung dan prasyarat, untuk mencapai suatu hirarkhi belajar keluaran-keluaran yang sederhana.
3.    Mengidentifikasi kondisi-kondisi atau proses-proses internal pada pembelajar yang harus ada untuk mencapai keluaran-keluaran tersebut.
4.    merinci kondisi-kondisi eksternal atau instruksi yang harus ada untuk mencapai kondisi-kondisi internal tersebut.
Memilih Media
5.    Mencatat konteks belajar.
6.    Mencatat karakteristik-karakteristik siswa.
7.    Memilih media untuk instruksi – cara menyampaikan kejadian-kejadian instruksional? Buku-buku, whiteboard, Komputerdan video merupakan contoh-contoh yang umum.
Design Instruction – merencanakan kejadian-kejadian instruksional untuk mendukung aktivitas belajar
8.    Rencana untuk memotivasi siswa dengan insentif-insentif, penguasaan tugas atau prestasi.
9.    Untuk setiap keluaran belajar yang direncanakan dalam hirarkhi belajar, Sembilan Kejadian Instruksional dirancang relevan dengan jenis jeluaran belajar, dalam urutan prasyarat dalam hirarkhi belajar, dan dengan media yang layak dan penggunaan tutor.
10.    Meskipun instruksi tampaknya siap digunakan, dalam praktek, instruksi tersebut diujikan pada siswa (evaluasi formatif).
11.    Setelah instruksi digunakan, sebuah evaluasi sumatif dilakukan untuk memutuskan keefektifannya.
Secara ringkas, Gagné's ID menghasilkan sebuah analisis mengenai belajar yang harus dilakukan (1-6) dan kemudian diterjemahkan ke dalam suatu rancangan untuk kejadian-kejadian instruksional yang akan menguatkan dan mendukung proses-proses internal pada siswa (7-9). Proses ini kemudian diuji, digunakan dan dievaluasi (10-11). (Petry, Mouton & Reigluth, 1987).
Gagne melihat proses belajar mengajar dibagi menjadi beberapa komponen penting yaitu:
1.    Kategori utama kapabilitas/kemampuan manusia/outcomes
Ada lima kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu :
1.    Verbal Information (informasi verbal), adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal.
2.    Intellectual skills (keterampilan intelektual), merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui pengunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya.
Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi yaitu aturan-aturan yang kompleks yang berisi aturan-aturan dan konsep terdefinisi, untuk memperloleh aturan – aturan ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep konkret ini siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi.
3.    Cognitive strategies (strategi kognitif), merupakan sustu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Proses kontrol yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Beberapa strategi kognitif adalah : (1) strategi menghafal, (2) strategi elaborasi, (3) strategi pengaturan, (4) strategi metakognitif, (5) strategi afektif.
4.    Attitudes (sikap-sikap) merupakan pembawaan yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadian atau mahluk hidup lainnya. Sekelompok sikap yang penting ialah sikap-sikap kita terhadap orang lain. Bagaimana sikap-sikap sosial itu diperoleh setelah mendapat pembelajaran itu yang menjadi hal penting dalam menerapkan metode dan materi pembelajaran.
5.    Motor skills (keterampilan motorik) merupakan keterampilan kegiatan fisik dan penggabungan kegiatan motorik dengan intelektual sebagai hasil belajar. Keterampilan motorik bukan hanya mencakup kegiatan fisik saja tapi juga kegiatan motorik dengan intelektual seperti membaca, menulis, dllnya.

2.    Fase – fase pembelajaran
Gagne membagi proses belajar berlangsung dalam empat fase utama, yaitu:
1.    menerima situasi rangsang (receiving the stimulus situation (apprehending)),
2.    Stage pencapaian (stage of acquisition),
3.    Penyimpanan (storage),
4.    Pemanggilan kembali (retrieval).

Kemudian ada fase-fase lain yang dianggap tidak utama, yaitu
5.    fase motivasi sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar,
6.    fase generalisasi adalah fase transfer informasi, pada situasi-situasi baru, agar lebih meningkatkan daya ingat, siswa dapat diminta mengaplikasikan sesuatu dengan informasi baru tersebut.
7.    Fase penampilan adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan yang nampak setelah mempelajari sesuatu, seperti mempelajari struktur kalimat dalam bahasa mereka dapat membuat kalimat yang benar, dan
8.    fase umpan balik, siswa harus diberikan umpan balik dari apa yang telah ditampilkan (reinforcement).
3.    Kondisi atau tipe pembelajaran
1. Signal learning (belajar isyarat)
Belajar isyarat merupakan proses belajar melalui pengalaman-pengalaman menerima suatu isyarat tertentu untuk melakukan tindakan tertentu. Misalnya ada “Aba-aba siap” merupakan isyarat untuk mengambil sikap tertentu, tersenyum merupakan isyarat perasaan senang.

2. Stimulus-response learning (belajar melalui stimulus-respon)
Belajar stimulus-respon (S-R), merupakan belajar atau respon tertentu yang diakibatkan oleh suatu stimulus tertentu. Melalui pengalaman yang berulang-ulang dengan stimulus tertentu sesorang akan memberikan respon yang cepat sebagai akibat stimulus tersebut.

      3. Chaining (rantai atau rangkaian)
Chaining atau rangkaian, terbentuk dari hubungan beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Misalnya : Pulang kantor, ganti baju, makan, istirahat.

      4. Verbal association (asosiasi verbal)
Mengenal suatu bentuk-bentuk tertentu dan menghubungkan bentuk-bentuk rangkaian verbal tertentu. Misalnya : seseorang mengenal bentuk geometris, bujur sangkar, jajaran genjang, bola dlsbnya. Lalu merangkai itu menajdi suatu pengetahuan geometris, sehingga seseorang dapat mengenal bola yang bulat, kotak yang bujur sangkar.

      5. Discrimination learning (belajar diskriminasi)
Belajar diskriminasi adalah dapat membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, dapat membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya walaupun bentuk manusia hampir sama, dapat membedakan merk sepedamotor satu dengan yang lainnya walaupun bentuknya sama. Kemampuan diskriminasi ini tidak terlepas dari jaringan, kadang-kadang jika jaringan yang terlalu besar dapat mengakibatkan interferensi atau tidak mampu membedakan.

      6. Concept learning (belajar konsep) 
Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang bisa melakukan tetapi sangat terbatas, manusia dapat melakukan tanpa terbatas berkat bahasa dan kemampuan mengabstraksi. Dengan menguasai konsep ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu misalnya : warna, bentuk, jumlah dllnya

      7. Rule learning (belajar aturan)
Belajar model ini banyak diterapkan di sekolah, banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang telah mengenyam pendidikan. Misalnya : angin berembus dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, 1 + 1 = 2 dan lainnya. Suatu aturan dapat diberikan contoh-contoh yang konkrit.

      8. Problem solving. (memecahkan masalah)
Memecahkan masalah merupakan suatu pekerjaan yang biasa yang dilakukan manusia. Setiap hari dia melakukan problem solving bayak sekali. Untuk memecahkan masalah dia harus memiliki aturan-aturan atau pengetahuan dan pengalaman, melalui pengetahuan aturan-aturan inilah dia dapat melakukan keputusan untuk memecahkan suatu persoalan. Seseorang harus memiliki konsep-konsep, aturan-aturan dan memiliki “sets” untuk memecahkannya dan suatu strategi untuk memberikan arah kepada pemikirannya agar ia produktif.
4.    Kejadian-kejadian instruksional
Apakah yang terjadi dalam mengajar? Mengajar dapat kita pandang sebagai usaha mengontrol kondisi ekstern. Kondisi ekstern merupakan satu bagian dari proses belajar, namun termasuk tugas guru yang utama dalam mengajar.
Mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang menurut Gagne terkenal dengan “Nine instructional events” yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1.    Gain attention (memelihara perhatian)
Dengan stimulus ekstern kita berusaha membangkitkan perhatian dan motivasi siswa untuk belajar.

2.    Inform learners of objectives (penjelasan tujuan pembelajaran)
Menjelaskan kepada murid tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.

3.    Stimulate recall of prior learning (merangsang murid)
Merangsang murid untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.

4.    Present the content (menyajikan stimuli)
Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga murid menjadi lebih siap menerima pelajaran.

5.    Provide "learning guidance" (memberikan bimbingan)
Memberikan bimbingan kepada murid dalam proses belajar

6.    Elicit performance /practice (pemantapan apa yang dipelajari)
Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu.

7.    Provide feedback (memberikan feedback)
Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil belajarnya benar atau tidak.

8.    Assess performance (menilai hasil belajar)
Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan beberapa soal.

9.    Enhance retention and transfer to the job (mengusahakan transfer)
Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasi apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi lain

Dalam mengajar hal di atas dapat terjadi sebagian atau semuanya, Proses belajar sendiri terjadi antara peristiwa nomor 5 dan 6. Peristiwa-peristiwa itu digerakkan dan diatur dengan perantaraan komunikasi verbal yakni guru mengatakan kepada murid apa yang harus dilakukannya



Implikasi untuk teknologi instruksional:
Teori Kondisi Belajar Gagne (1965) mempunyai beberapa implikasi untuk teknologi instruksional. Rancangan instruksi harus mencakup : menganalisis persyaratan, memilih media dan merancang kejadian-kejadian instruksional. Sebagai tambahan, teknolog instruksional harus mencamkan konsep-konsep belajar berikut ketika mengembangkan metode-metode instruksi.
•    Ketrampilan harus dipelajari pada waktunya dan setiap skill baru yang dipelajari berdasar pada skill yang telah dicapai sebelumnya
•    Analisis fase harus mengidentifikasi dan menggambarkan skill dan pengetahuan prasyarat tingkat bawah yang dibutuhkan untuk tujuan instruksional
•    Tujuan-tujuan tingkat bawah harus dikuasai sebelum tujuan-tujuan tingkat tinggi
•    Tujuan-tujuan harus ditetapkan dalam istilah tingkahlaku konkrit
•    Reinforcement positive harus digunakan dengan cara berulang
Karya Gagne (1965) mempunyai sumbangan penting pada dasar pengetahuan keilmuan dalam bidang teknologi instruksional khususnya di bidang rancangan instruksional. Dia menunjukkan beberapa langkah yang harus digunakan untuk merencanakan dan merancang instruksi, meliputi:
•    Mengidentifikasi jenis-jenis keluaran belajar
•    Setiap keluaran  harus memiliki pengetahuan atau skill prasyarat yang harus diidentifikasi
•    Mengidentifikasi kondisi-kondisi atau proses-proses internal  yang harus dimiliki siswa untuk mencapai keluaran-keluaran
•    Mengidentifikasi kondisi-kondisi eksternal atau instruksi-instruksi yang diperlukan untuk mencapai keluaran-keluaran
•    Menspesifikasi konteks belajar
•    Mencatat karakteristik-karakteristik siswa
•    Memilih media untuk instruksi
•    merencanakan memotivasi siswa
•    instruksi diuji pada siswa dalam bentuk evaluasi formative
•    setelah instruksi digunakan, evaluasi sumatif digunakan untuk memutuskan keefektifan instruksi

Penting dalam Teori Kondisi Belajar Gagne adalah bahwa instruksi harus dirancang secara spesifik dalam konteks kebutuhan siswa. Instruksi harus dirancang untuk mencakup serangkaian metode instruksional untuk memenuhi kebutuhan berbagai siswa. 

  BY: Jukman

Wednesday, June 21, 2017

LOGO MIS NURUL QALBU NANGA KANTOR

Blogger templates

Popular Posts